Korupsi sudah bukanlah kata yang asing bagi masyarakat
kita, baik kalangan intelektual maupun masyarakat awam sekalipun. Dari
professor hingga pemulung sudah terlanjur akrab dengan kata “korupsi”, meskipun
definisi korupsi dari setiap kalangan berbeda. Jika ada masyarakat indonesia
khusunya yang tidak kenal korupsi mungkin ia baru terlahir di dunia atau baru
datang dari luar angkasa. Bagaimana mungkin ada orang yang tidak kenal korupsi
ketika penyakit ini sudah menjangkiti seluruh sistem kehidupan tata
pemerintahan, instasi, perusahaan, bahkan dunia pendidikan. Yah, korupsi sudah
menjadi bagian budaya masyarakat.
Penyakit korupsi ini tidak menjangkiti golongan melarat
seperti kebanyakan penyakit yang disebabkan kekurangan gizi, penyakit ini justru
banyak menjangkit pemangku jabatan dari ekonomi biasa hingga yang terlanjur
kaya. Saya ingat dosen saya mengatakan kebudayaan menyangkut hal-hal yang baik,
lalu bagaimana dengan budaya korupsi. Mengapa korupsi dikatakan budaya?.
Mungkin karena korupsi sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat. Korupsi sudah
dianggap sebagai budaya saking hebat
pengaruhnya. Korupsi telah menjadi udara, udara kotor tapi tak ada pilihan lagi
selain menghirupnya, dihirup pula oleh kerongkongan kering rakyat miskin. Mungkin
sepuluh tahun lagi atau lebih cepat, korupsi akan menjadi kejahatan yang dimaklumi, bukankah
sekarang pencuri ayam lebih terlihat pejahat dari koruptor.
Mewabahnya tindak korupsi bukan karena tidak ada hukum
yag mengaturnya. Undang-undang nomor 28 tahun 1999 telah mengatur tentang
penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme. Namun, apalah fungsi aturan jika tidak ditegakkan. Undang-undang
hanyalah benda mati yang tidak akan pernah memukul satupun kepala manusia yang
melanggarnya. Penegak hukum seperti polisi, hakim dan yang sejenisnya yang
mempunyai hak dan kekuasaan menjalankan hukum itu sendiri, namun bagaimana jika
penegak hukum menjadi bagian dari pelanggarnya?. Bukan tidak mungking.
Lahirnya institusi yakni komisi pemberatasan korupsi
(KPK) memberi angin segar dalam upaya penegakan hukum dan mungkin kabar
kematian bagi koruptor. Namun, KPK tidak sepenuhnya berhasil dalam memberantas
korupsi. Banyak kasus yang mengendap dipengadilan. Kalaupun ada yang sanpai
putusan hukumannya tak jauh berbeda dengan maling ayam. Negeri kita memang
aneh.
Membudayanya korupsi bukan cuma masalah hukum akan
tetapi masalah kebiasaan dan kesempatan, masalah moral. Tidak sedikit mahasiswa
yang sadar akibat perilaku korup, dengan semangat menggebu mereka menolak
korupsi menuntut penjagalan koruptor. Sedangkan dalam peranannya sendiri mereka
korup, dalam ujian membohongi diri sendiri dengan modal contekan, nilai yang
didapat hasil dari korupsi. Dosen
pun kadang korup pada jam mengajarnya. Meskipun tidak merugikan dana negara
tetap saja merugikan orang lain. Ah, sistem pendidikan kita memang mengajarkan
korupsi. Sistem ujian nasional kita itu melatih kebiasaan untuk berbuat korup.
Seluruh siswa dari Sabang sampai Merauke ditutut mengerjakan soal yang sama,
sedangkan fasilitas berbeda. Biaya pendidikan kita mahal, siapa yang mau
mengerjakan dengan cara bersih jika dihantui kegagalan dan ujian ulang tahun
depan. Saya tidak berani memprosentasekan namun saya yakin lebih banyak hasil
UN adalah tidak jujur. Para gurupun akan melakukan hal kotor untuk menjaga nama
baik sekolah. Tentu jika sekolah bisa berkata lulus 100%. Kecurangan semacam
ini berulang pada jenjang-jenjang berikutnya. Kemudian menjadi kebiasaan, biasa
berbuat curang. Bukan tidak mugkin beberapa tahun kemudian siswa-siswa ini
menduduki jabatan kemudian melakukan kecurangan dengan memalsukan dokumen,
mencari keuntungan dan, korupsi pun terjadi. Sangat sistematis.
Mungkin masih
ada pejabat kita yang bersih, belum melakukan korupsi, namun karena belum ada
kesempatan saja. Masih kita ingat saat kampanye politik kalimat berisi janji-janji
indah ”jika saya terpilih kita tegakkan hukum, beratas korupsi”. Bombardir
kalimat semacam itu hanya terdengar saat kampanye, saat meduduki kursinya dan
ada kesempatan korupsi, mengapa tidak. Saat kampanye bisa mengatakan tidak pada
korupsi namun saat ada kesempatan mengapa tidak.
Banyak
terungkap kasus yang awalnya membawa nama satu pejabat yang korupsi kemudian
menyeret yang lainnya. Yah, kejahatan semacam ini memang kejahatan kelompok
tidak bisa dijalankan sendiri. Misalnya saja pejabat yang melakukan
pengelembungan dana proyek, pastinya ada pemangku jabatan lain yang tahu namun
sengaja tidak menahu karena juga mendapat jatah. Maka semakin banyak pihak yang
turut menikmati dana semakin banyak pula pelindung proyek dalam proyek ini. Meluasnya
korupsi tidak hanya karena hukum yang mandul, moral manusianya juga yang perlu
diperbaiki. Kebiasaan curang sejak jenjang pendidikan serta kesempatan yang ada
pada lembaga terkait merupakan pemicu terjadinya korupsi. Ketika kebiasaan
buruk menjadi hal yang dimaklumi maka tidak akan pernah ada keadilan dibumi.
Seharusnya
kebiasaan yang dapat mengajarkan korupsi seperti yang tedapat pada sistim pendidikan
kita, itu juga yang perlu dibenahi. Undang-undang sudah jelas mengatur ini dan
itu, yang perlu dibenahi ialah orang-orang kuasa menegakkan hukum. Sekiranya
mereka perlu dihukum agar bisa benar-benar memahami hukum. Kesempatan korupsi sangat
subur saat ini jika keadaan demikian dipertahankan, bukan tidak mungkin pejabat
yang masih polos dan bersih esok ikut menambah prestasi tingkat korupsi negara
ini. Dan akhirnya keadaan yang demikian seolah mengajak seluruh masyarakat
berseru ”Mari budayakan korupsi”[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar