Rabu, 15 Mei 2013

"Nyerocos" Budayakan Korupsi

Korupsi sudah bukanlah kata yang asing bagi masyarakat kita, baik kalangan intelektual maupun masyarakat awam sekalipun. Dari professor hingga pemulung sudah terlanjur akrab dengan kata “korupsi”, meskipun definisi korupsi dari setiap kalangan berbeda. Jika ada masyarakat indonesia khusunya yang tidak kenal korupsi mungkin ia baru terlahir di dunia atau baru datang dari luar angkasa. Bagaimana mungkin ada orang yang tidak kenal korupsi ketika penyakit ini sudah menjangkiti seluruh sistem kehidupan tata pemerintahan, instasi, perusahaan, bahkan dunia pendidikan. Yah, korupsi sudah menjadi bagian budaya masyarakat.
Penyakit korupsi ini tidak menjangkiti golongan melarat seperti kebanyakan penyakit yang disebabkan kekurangan gizi, penyakit ini justru banyak menjangkit pemangku jabatan dari ekonomi biasa hingga yang terlanjur kaya. Saya ingat dosen saya mengatakan kebudayaan menyangkut hal-hal yang baik, lalu bagaimana dengan budaya korupsi. Mengapa korupsi dikatakan budaya?. Mungkin karena korupsi sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat. Korupsi sudah dianggap sebagai budaya saking hebat pengaruhnya. Korupsi telah menjadi udara, udara kotor tapi tak ada pilihan lagi selain menghirupnya, dihirup pula oleh kerongkongan kering rakyat miskin. Mungkin sepuluh tahun lagi atau lebih cepat, korupsi akan  menjadi kejahatan yang dimaklumi, bukankah sekarang pencuri ayam lebih terlihat pejahat dari koruptor.
Mewabahnya tindak korupsi bukan karena tidak ada hukum yag mengaturnya. Undang-undang nomor 28 tahun 1999 telah mengatur tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun, apalah fungsi aturan jika tidak ditegakkan. Undang-undang hanyalah benda mati yang tidak akan pernah memukul satupun kepala manusia yang melanggarnya. Penegak hukum seperti polisi, hakim dan yang sejenisnya yang mempunyai hak dan kekuasaan menjalankan hukum itu sendiri, namun bagaimana jika penegak hukum menjadi bagian dari pelanggarnya?. Bukan tidak mungking.
Lahirnya institusi yakni komisi pemberatasan korupsi (KPK) memberi angin segar dalam upaya penegakan hukum dan mungkin kabar kematian bagi koruptor. Namun, KPK tidak sepenuhnya berhasil dalam memberantas korupsi. Banyak kasus yang mengendap dipengadilan. Kalaupun ada yang sanpai putusan hukumannya tak jauh berbeda dengan maling ayam. Negeri kita memang aneh.
Membudayanya korupsi bukan cuma masalah hukum akan tetapi masalah kebiasaan dan kesempatan, masalah moral. Tidak sedikit mahasiswa yang sadar akibat perilaku korup, dengan semangat menggebu mereka menolak korupsi menuntut penjagalan koruptor. Sedangkan dalam peranannya sendiri mereka korup, dalam ujian membohongi diri sendiri dengan modal contekan, nilai yang didapat hasil dari korupsi. Dosen pun kadang korup pada jam mengajarnya. Meskipun tidak merugikan dana negara tetap saja merugikan orang lain. Ah, sistem pendidikan kita memang mengajarkan korupsi. Sistem ujian nasional kita itu melatih kebiasaan untuk berbuat korup. Seluruh siswa dari Sabang sampai Merauke ditutut mengerjakan soal yang sama, sedangkan fasilitas berbeda. Biaya pendidikan kita mahal, siapa yang mau mengerjakan dengan cara bersih jika dihantui kegagalan dan ujian ulang tahun depan. Saya tidak berani memprosentasekan namun saya yakin lebih banyak hasil UN adalah tidak jujur. Para gurupun akan melakukan hal kotor untuk menjaga nama baik sekolah. Tentu jika sekolah bisa berkata lulus 100%. Kecurangan semacam ini berulang pada jenjang-jenjang berikutnya. Kemudian menjadi kebiasaan, biasa berbuat curang. Bukan tidak mugkin beberapa tahun kemudian siswa-siswa ini menduduki jabatan kemudian melakukan kecurangan dengan memalsukan dokumen, mencari keuntungan dan, korupsi pun terjadi. Sangat sistematis.
Mungkin masih ada pejabat kita yang bersih, belum melakukan korupsi, namun karena belum ada kesempatan saja. Masih kita ingat saat kampanye politik kalimat berisi janji-janji indah ”jika saya terpilih kita tegakkan hukum, beratas korupsi”. Bombardir kalimat semacam itu hanya terdengar saat kampanye, saat meduduki kursinya dan ada kesempatan korupsi, mengapa tidak. Saat kampanye bisa mengatakan tidak pada korupsi namun saat ada kesempatan mengapa tidak.
Banyak terungkap kasus yang awalnya membawa nama satu pejabat yang korupsi kemudian menyeret yang lainnya. Yah, kejahatan semacam ini memang kejahatan kelompok tidak bisa dijalankan sendiri. Misalnya saja pejabat yang melakukan pengelembungan dana proyek, pastinya ada pemangku jabatan lain yang tahu namun sengaja tidak menahu karena juga mendapat jatah. Maka semakin banyak pihak yang turut menikmati dana semakin banyak pula pelindung proyek dalam proyek ini. Meluasnya korupsi tidak hanya karena hukum yang mandul, moral manusianya juga yang perlu diperbaiki. Kebiasaan curang sejak jenjang pendidikan serta kesempatan yang ada pada lembaga terkait merupakan pemicu terjadinya korupsi. Ketika kebiasaan buruk menjadi hal yang dimaklumi maka tidak akan pernah ada keadilan dibumi.
Seharusnya kebiasaan yang dapat mengajarkan korupsi seperti yang tedapat pada sistim pendidikan kita, itu juga yang perlu dibenahi. Undang-undang sudah jelas mengatur ini dan itu, yang perlu dibenahi ialah orang-orang kuasa menegakkan hukum. Sekiranya mereka perlu dihukum agar bisa benar-benar memahami hukum. Kesempatan korupsi sangat subur saat ini jika keadaan demikian dipertahankan, bukan tidak mungkin pejabat yang masih polos dan bersih esok ikut menambah prestasi tingkat korupsi negara ini. Dan akhirnya keadaan yang demikian seolah mengajak seluruh masyarakat berseru ”Mari budayakan korupsi”[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar