Selasa, 28 Mei 2013

Sejarah Perdamaian Jepang


Judul buku        : Hiroshima Ketika Bom Dijatuhkan.
Pengarang        : John Hersey
Penerbit            : Komunitas Bambu
Tahun terbit      : 2008
Tebal buku       : x + 165 hlm
Peresensi          : Nurul Aini



“ Ketika semua mengetahui kalau perang berakhir dengan Jepang sebagai pihak yang kalah, tentu kami sangat kecewa. Namun, kami mengikuti perintah kaisar untuk bersikap tenang, membuat pengorbanan sepenuh hati bagi kedamaian abadi di dunia. Dan Jepang pun memulai langkahnya yang baru.”. (hal. 118)

            Siapa yang tidak tahu peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, 6 dan 9 Agustus 1945. Dijatuhkannya bom atom oleh Amerika diatas dua kota Jepang ketika perang dunia II, menimbulkan dampak yang besar bagi dunia khususnya Jepang sendiri. Indonesia pun ikut merasakan dampakya namun bukan sebuah kerugian melainkan berupa kemerdekaan. Kekalahan Jepang membuatnya tidak mampu mempertahankan negara-negara jajahannya.
            Dalam buku Hiroshima Ketika Bom Dijatuhkan sang penulis John Hersey menceritakan banyak tentang peristiwa pengeboman di Hiroshima. Dimulai dari saat-saat jatuhnya bom hingga dampak-dampak di tahun setelahnya. Kekuatan bom yang dahsyat dengan berat 55 ton ini meratakan kota Hiroshima, sekitar seratus ribu korban tewas. Tidak ada pilihan lebih baik bagi Jepang dari mengakui kekuatan lawannya, Amerika kala itu.
Dimulai dari memperkanalkan tokoh-tokoh yang tak lain adalah korban selamat dalam peristiwa bom atom tersebut menjadi sebuah prolog yang menarik. Keenam tokoh tersebut adalah Nona Toshiko Sasaki (juru tulis), Dokter Masaaku Fujji (dokter), Nyonya Hatsuyo Nakamura (penjahit), Pastur Wihelm Kleinsorge (pendeta), Dokter Terufumi Sasaki (dokter), dan Pendeta Kiyoshi Tanimoto (pendeta). Enam tokoh ini berasal dari berbagai profesi seolah mewakili ribuan korban Hiroshima lainnya.
Bagian pengantar yang memperkenalkan tokoh-tokoh ini juga memberi gambaran tentang apa yang sedang keenam tokoh lakukan saat bom terjadi. Bagian pengantar ini seolah mampu menarik pembaca. Sebelum diceritakan lebih lengkap dalam tiap babnya.
Pada bab I dengan judul Kilat Tanpa Suara, bagian ini menceritakan aktivitas yang dilakukan keenam tokoh sebelum hinga saat-saat bom meledak. Tindakan tokoh untuk menyelamatkan diri, ada pula yang langsung tidak sadar,  hingga usaha para tokoh menolong orang-orang terdekatnya. John Hersey menggambarkan kejadian sangat detail, suasana yang terjadi ketika itu, juga perasaan masing-masing tokoh, kesedihan, ketakutan, kepanikan, rasa iba melihat korban tewas. Ganbaran keadaan kota setelah diratakan bom, seakan kejadian tersebut belum lama terjadi dan pembaca melihat langsung kejadian.
Beberapa tokoh dapat dengan mudah menyelamatkan diri seperti Dokter Sasaki ( Dokter Terufumi Sasaki ), pendeta Tanimoto, sedangkan tokoh lain harus melewati perjuangan untuk menyelamatkan hidupnya. Dokter Fujji sampai tenggelam bersama rumah sakit swastanya yang mewah, Nyonya Nakamura jatuh berkali-kali untuk menolong anak-anaknya. Pendeta kleinsorge tidak sadarkan diri saat kejadian,  Sedangkan nona Sasaki harus merasakan sakit akibat kakinya yang patah tertimpak rak buku di tempat kerjanya. Begitu jelasnya kondisi tokoh digambarkan saat-saat jatuhnya bom.
Pada bab II berjudul Api, digambarkan beberapa saat setelah bom meledak, yang mengakibatkan kebakaran dimana-mana. Tiang listrik yang roboh, bangunan yang hancur, sedang sisa bangunan masih harus terbakar. Hingga benar-benar rata menjadi abu. John Hersey lagi-lagi memberi gambaran yang jelas tentang kota yang hancur kemudian terbakar. Keadaan korban-korban yang tak berdaya, Kepanikan, rasa kemanusiaan yang kemudian mendorong korban yang masih sanggup memberi pertolongan untuk menolongnya.
Bagian ini juga tergambar perjuangan para tokoh menyelamatkan orang-orang disekitarnya. Dokter Sasaki berusaha menolong sebanyak mungkin pasiennya yang memang ada di rumah sakit atau korban bom yang baru datang. Pendeta tanimoto berusaha kembali ke kota untuk mencari istri dan anaknya, sambil lalu selama perjalanan ia menolong korban yang butuh pertolongan. Dokter Fujji akhirnya bisa keluar dari sungai tempatnya terendam bersama rumah sakitnya, dan tercengang melihat sisa bangunannya terbakar.
Nyonya Nakamura berhasil menolong dua anaknya yang masih terkubur runtuhan rumah kemudian mengungsi dengan tetangganya. Pendeta Kleinsorge berusaha menolong rekan-rekannya para pendeta serta para korban lain, kemudian lari untuk menghindari api yang semakin meluas. Nona Sasaki tidak bisa berbuat apa-apa setelah dikeluarkan dari kubur bukunya, karena kakinya yang patah.
Pada bab selanjutnya diceritakan bagaimana proses setelah bencana ledakan bom tersebut, evakuasi korban, diturunkannya tim penyelamat yang tidak mampu menbantu korban, tentu saja karena saking banyaknya korban. Nyonya Nakamura, pastur Kleinsorge, pendeta Tanimoto adalah bagian dari korban yang mengharap bantuan dari kapal medis yang kabarnya akan datang membantu, namun tidak pernah datang. Dokter Fujji merasakan kesakitan tubuhnya sendirian tanpa pertolongan di rumah keluarganya yang sudah hancur.
Dokter sasaki sibuk memberi pertolongan bagi korban yang semakin banyak datang kerumah sakit tempatnya berkerja. Hingga keesokan harinya ia tidak mampu lagi menangani pasien korban bom. Hal lebih parah terjadi pada nona Sasaki dengan kondisi kakinya yang patah bersama dua korban lain yang tak kalah mengenaskan kondisiya, satu kehilangan payudarahnya, sedang yang satu mengalami luka bakar pada bagian wajahnya. Ketiga korban ini tidak mendapat pertolongan setelah berhasil dikeluarkan dari reruntuhan bangunan, hingga harus bermalam di bawah perlindungan darurat halaman pabrik timah.
Dalam bab ini juga diceritaka bagaimana isu-isu seputar ledakan tersebut. Bagaimana cara peledakan dan bom jenis apa yang menghancurkan kota padat penduduk beserta isinya tersebut. Tanggal 7 Agustus pertama kali setelah bom jatuh, penyiar radio Jepang menyampaikan pengumuman singkat tentang keadaan kota yang hancur dan kabar penyelidikan lebih lanjut tentang bom tersebut serta pelakunya.

”Tidak ada negara lain kecuali Amerika, dengan pengetahuannya, industrinya dan kesediaannya untuk menghabiskan dua juta dolar dalam sebuah perjudian masa perag yang penting, yang dapat mengembangkan bom atom”(hal. 90)

Penyelidikan mengenai bom atom ini terus dilakukan oleh para ahli fisika Jepang. Bebarengan dengan itu beredar isu-isu mengenai dampak buruk yang akan terjadi paska jatuhnya bom ditengah masyarakat. Dari yang benar hingga yang tidak masuk akal. Isu-isu tersebut banyak yang lahir dari hasil menerka-nerka apa yang terjadi pada warga kala itu, zat-zat pembunuh yang diturunkan pesawat, serbuk kimia hingga munculnya istilah radiasi.
Pada tanggal 15 agustus kaisar Jepang memperdengarkan suaranya melalui siaran radio, ia mengumumkan sebuah tindakan luar biasa yang ditempuh pemerintah, menyerah pada musuh, ini artinya perang berakhir dan Jepang sebagai pihak yang kalah. Pengumuman ini didengarkan rakyat jepang dengan antusias, menurut mereka adalah sesuatu yang tidak biasa seorang kaisar berbicara langsung pada rakyatya, namun mereka kecewa dengan pengumuman itu. Sejak saat itu perang berakhir, dan jepang mulai membenahi diri paska kekalahannya.

”Ia (Nyonya Nakamura) tidak perlu apapun lagi untuk berhenti berharap bahwa Jepang masih punya kesempatan untuk memenangkan perang.”(hal 117).

Pada  bab terakhir mengambarkan bahwa pederitaan warga Hiroshima belum selesai. Radiasi yang disebabkan bom atom menjangkiti warga termasuk pastur Kleisorge, Nyonya Nakamura dan anaknya Meyko. Tidak lama setelah ketakutan radiasi menghantui warga Hiroshima, musibah lain datang, tepatnya 17 september banjir menyerang Hiroshima menghanyutkan segalanya termasuk rumah sakit Angkatan Darat Ono tempat beberapa tim ahli dari Universitas Kekaisaran Kyoto meneliti gejala aneh yang diderita korban bom. Mereka hanyut dibawa banjir dan tidak pernah menyelesaikan tugasnya. Rumah tuan Okuma tempat Dokter Fujji tinggal juga hanyut terbawa banjir setelah mereka mengungsi keatas bukit.
Begitu panjangnya penderitaan Jepang disebabkan bom atom kala itu benar-benar tergambar dalam buku ini. Sayangnya langkah-langkah kebangkitan jepang  dari keterpurukan setelah kekalahannya tidak dijelaskan disini. Bagaimana dan mengapa kekaisaran jepang kemudian memutuskan untuk mengakhiri perang dan menyerah pada musuh, apa yang menjadi pertimbangan kaisar kala itu. Karena tidak ingin rakyatnya menderita lebih parah, takut kerugian yang lebih besar atau ada alasan lainnya
Tingkat loyalitas warga Jepang pada negaranya tergambar begitu nyata, meskipun mereka menderita akibat perang ”.. banyak penduduk Hiroshima yang meninggal akibat bom atom dengan kepercayaan bahwa mereka melakukannya untuk kaisar” (hal. 160). Selain itu mereka merasa kecewa dan sedih atas keputusan pemerintah mengakhiri perang. Akan lebih menarik jika digambarkkan bagaimana warga Jepang membangun kembali kepercayaan dirinya setelah peristiwa pahit ini, melihat kehancuran kota, kehilangan keluarga dibawah kenyataan kekalahan negaranya. Bagaimana pula pemerintah membangun perekonomian khususnya di kota Hiroshima dan Nagasaki yang hancur setelah dibom atom dibawah otoritas pemenang perang, ditambah kehilangan negara jajahannya. Tentunya hal ini tidak mudah dilakukan namun Jepang mampu membuktikan kemampuannya. Sejak saat ini pula Jepang menyatakan perdamaian pada dunia, warga Jepang juga mengutuk penggunaan bom atom dalam perang. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar