3 Mei lalu, dunia memperingati hari
kebebasan pers. Beragam cara dilakukan untuk merayakan kebebasan pada hari itu,
ada yang dengan berdemontrasi, seminar, diskusi, dan lain sebagainya. Semua
dilakukan dengan harapan semakin banyak masyarakat yang mengamini kebebasan
pers.
Di Indonesia, kebebasan berpendapat
dan berekspresi dilindungi Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28, dan secara
khusus tentang pers dalam UU no 40 tahun 1999. Namun undang-undang hanya
tinggal seperangkat aturan yang tidak berguna. Karena pada dunia nyata
kebebasan itu tidak benar-benar ada. Sering kali kita mendengar pelarangan
diskusi, seminar, pameran hingga pertunjukkan, dengan alasan dapat memicu
konflik. Lalu, kemana perangkat negara yang seharusnya melindungi kebebasan?
Jawabannya sederhana, mereka berada pada kelompok intoleran.
Di Yogyakarta, Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Yogyakarta mengadakan pemutaran film dalam rangka memperingati hari kebebasan Pers
Internasional. Film yang akan diputar berjudul Pulau Buru Tanah Air Beta. Sebuah film dokumenter yang dibuat
dengan prosedur jurnalistik. Acara tersebut dibubarkan paksa oleh Ormas yang mengatasnamakan Forum Komunitas Putra
putri Purnawirawan dan Putra putri Polri (FKPPI DIY.) Sungguh sebuah kabar
buruk bagi kebebasan ketika perbedaan pandangan menjadi alasan permusuhan.
Sebelum massa ormas datang, pihak
kepolisian dari Polsek Umbulharjo dan Polresta Yogyakarta serta anggota koramil
Umbulharjo telah berada di lokasi acara. Mereka datang dibawah pimpinan Kasatintelkam Polresta Yogyakarta, Kompol
Wahyu Dwi Nugroho*. Kedatangan
mereka tidak untuk memenuhi undangan panitia, tidak juga untuk mengamankan
acara. Mereka datang meminta acara diurungkan atau film yang diputar diganti.
Awalnya mereka mempermasalahkan ijin acara kemudian mengatakan bahwa ada ormas
yang tidak setuju film tersebut diputar, polisi tidak ingin ada keributan jika Ormas
turun.
Saya merasa ada yang salah disini,
atau mungkin logika saya yang rusak. Sebenarnya apa tugas polisi sebagai
perangkat negara? Bukankah mereka seharusnya melindungi kebebasan yang dijamin
dalam undang-undang. Mereka malah membantu Ormas melanggar undang-undang. Tidakkah
mereka lebih baik mencegah puluhan orang yang akan melakukan keributan itu.
Miris sekali rasanya mengingat sehari sebelumnya, 2 Mei 2016 sekitar 1.700 aktivis Papua ditangkap**. Penangkapan terjadi di
beberapa wilayah Papua, Semarang dan Makasar. Jika polisi bisa menangkap ribuan
orang Papua mengapa tidak pada puluhan orang yang akan menodai kebebasan.
Mengulang Kesalahan Masa Lalu.
Saya belum menonton film Pulau Buru
Tanah Air Beta (Semoga segera ada pemutaran di Jember) tapi saya sempat membaca
beberapa reviewnya. Dalam imajinasi saya, film tersebut akan menghadirkan Pulau
Buru, pulau terbesar di Kepulauan Maluku,
tempat tahanan politik diasingkan di masa Orde Baru. Kebanyakan tahanan
adalah paran intelektual yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis
Indonesia. Ada masa lalu yang dibawa ke masa kini. Akan banyak kepedihan yang
hadir bukan untuk disesali tapi untuk diperbaiki. Lalu mengapa film ini
ditakuti?
Sebelumnya ada film Jagal dan
Senyap garapan sutradara bernama Joshua Oppenheimer. Dua film dokumenter ini menyusuri
kembali sejarah Indonesia 1965. Pemutaran dua film dokumenter ini juga dilarang
di berbagai kota. Mereka yang melarang adalah orang-orang yang terjebak dalam
ketakutan masa lalu. Sisa-sisa orang yang mendapat pelajaran salah di Sekolah
Dasar. Sayangnya pikiran mereka pun tertutup. Menolak wacana baru diluar wacana
yang sudah tertanan dalam otak mereka. Wacana lawas itu membusuk lalu memicu
perbuatan barbar. Mencaci maki kelompok yang berbeda dengan mereka, berani adu
fisik untuk membela keyakinan sendiri.
Di antara Ormas FKPPI DIY yang membubarkan
pemutaran film Pulau Buruh Tanah Air Beta selasa lalu, ternyata ada orang bernama Burhanuddin,
pendiri From Anti Komunis Indonesia (FAKI). Saya tidak ingin berprasangka
buruk, tetapi kita semua akan langsung paham apa ketakutan mereka. Ketakutan
akan lahirnya lagi paham komunis, takut terkuak kebenaran bahwa partai komunis yang
sudah ditumpas itu tidak bersalah. Seperti orang-orang angkatan saya ke atas pelajari,
PKI adalah pembunuh dewan jendral tidaklah benar adanya. Mungkin pula (ah, saya
tak kuasa menulis ini karena dalam darah saya juga ada darah militer) para
pembunuh yang masih hidup dan berkuasa takut kesalahan mereka terbongkar.
Ketakutan masa lalu itu akan terus
berulang selama masih ada Oknum yang menolak mendengarkan sudut pandang lain. Mengutip
kalimat teman saya, “Untuk menjaga kewarasan harus selalu memperbarui pola
pikir dengan pandangan yang baru.” Saran saya pada orang-orang yang masih
terjebak ketakutan masa lalu, menganggap komunis setan yang menakutkan, mari
berdiskusi[]
*kronologi pembubaran acara hari kebebasan pers
internasional di AJI Yogyakarta di akun facebook Rahung Nasution
**http://tabloidjubi.com/2016/05/05/amnesty-minta-indonesia-akhiri-penangkapan-di-papua/
Asyik tulisannya :)
BalasHapus