Jumat, 06 Mei 2016

Kado Buruk di Hari Kebebasan Pers Internasional


3 Mei lalu, dunia memperingati hari kebebasan pers. Beragam cara dilakukan untuk merayakan kebebasan pada hari itu, ada yang dengan berdemontrasi, seminar, diskusi, dan lain sebagainya. Semua dilakukan dengan harapan semakin banyak masyarakat yang mengamini kebebasan pers.


Di Indonesia, kebebasan berpendapat dan berekspresi dilindungi Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28, dan secara khusus tentang pers dalam UU no 40 tahun 1999. Namun undang-undang hanya tinggal seperangkat aturan yang tidak berguna. Karena pada dunia nyata kebebasan itu tidak benar-benar ada. Sering kali kita mendengar pelarangan diskusi, seminar, pameran hingga pertunjukkan, dengan alasan dapat memicu konflik. Lalu, kemana perangkat negara yang seharusnya melindungi kebebasan? Jawabannya sederhana, mereka berada pada kelompok intoleran.

Di Yogyakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mengadakan pemutaran film  dalam rangka memperingati hari kebebasan Pers Internasional. Film yang akan diputar berjudul Pulau Buru Tanah Air Beta. Sebuah film dokumenter yang dibuat dengan prosedur jurnalistik. Acara tersebut dibubarkan paksa oleh Ormas  yang mengatasnamakan Forum Komunitas Putra putri Purnawirawan dan Putra putri Polri (FKPPI DIY.) Sungguh sebuah kabar buruk bagi kebebasan ketika perbedaan pandangan menjadi alasan permusuhan.

Sebelum massa ormas datang, pihak kepolisian dari Polsek Umbulharjo dan Polresta Yogyakarta serta anggota koramil Umbulharjo telah berada di lokasi acara. Mereka datang dibawah pimpinan  Kasatintelkam Polresta Yogyakarta, Kompol Wahyu Dwi Nugroho*. Kedatangan mereka tidak untuk memenuhi undangan panitia, tidak juga untuk mengamankan acara. Mereka datang meminta acara diurungkan atau film yang diputar diganti. Awalnya mereka mempermasalahkan ijin acara kemudian mengatakan bahwa ada ormas yang tidak setuju film tersebut diputar, polisi tidak ingin ada keributan jika Ormas turun.

Saya merasa ada yang salah disini, atau mungkin logika saya yang rusak. Sebenarnya apa tugas polisi sebagai perangkat negara? Bukankah mereka seharusnya melindungi kebebasan yang dijamin dalam undang-undang. Mereka malah membantu Ormas melanggar undang-undang. Tidakkah mereka lebih baik mencegah puluhan orang yang akan melakukan keributan itu. Miris sekali rasanya mengingat sehari sebelumnya, 2 Mei  2016 sekitar 1.700 aktivis Papua ditangkap**. Penangkapan terjadi di beberapa wilayah Papua, Semarang dan Makasar. Jika polisi bisa menangkap ribuan orang Papua mengapa tidak pada puluhan orang yang akan menodai kebebasan.

Mengulang Kesalahan Masa Lalu.

Saya belum menonton film Pulau Buru Tanah Air Beta (Semoga segera ada pemutaran di Jember) tapi saya sempat membaca beberapa reviewnya. Dalam imajinasi saya, film tersebut akan menghadirkan Pulau Buru, pulau terbesar di Kepulauan Maluku,  tempat tahanan politik diasingkan di masa Orde Baru. Kebanyakan tahanan adalah paran intelektual yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Ada masa lalu yang dibawa ke masa kini. Akan banyak kepedihan yang hadir bukan untuk disesali tapi untuk diperbaiki. Lalu mengapa film ini ditakuti?

Sebelumnya ada film Jagal dan Senyap garapan sutradara bernama Joshua Oppenheimer. Dua film dokumenter ini menyusuri kembali sejarah Indonesia 1965. Pemutaran dua film dokumenter ini juga dilarang di berbagai kota. Mereka yang melarang adalah orang-orang yang terjebak dalam ketakutan masa lalu. Sisa-sisa orang yang mendapat pelajaran salah di Sekolah Dasar. Sayangnya pikiran mereka pun tertutup. Menolak wacana baru diluar wacana yang sudah tertanan dalam otak mereka. Wacana lawas itu membusuk lalu memicu perbuatan barbar. Mencaci maki kelompok yang berbeda dengan mereka, berani adu fisik untuk membela keyakinan sendiri.

Di antara Ormas FKPPI DIY yang membubarkan pemutaran film Pulau Buruh Tanah Air Beta selasa lalu, ternyata ada orang bernama Burhanuddin, pendiri From Anti Komunis Indonesia (FAKI). Saya tidak ingin berprasangka buruk, tetapi kita semua akan langsung paham apa ketakutan mereka. Ketakutan akan lahirnya lagi paham komunis, takut terkuak kebenaran bahwa partai komunis yang sudah ditumpas itu tidak bersalah. Seperti orang-orang angkatan saya ke atas pelajari, PKI adalah pembunuh dewan jendral tidaklah benar adanya. Mungkin pula (ah, saya tak kuasa menulis ini karena dalam darah saya juga ada darah militer) para pembunuh yang masih hidup dan berkuasa takut kesalahan mereka terbongkar.

Ketakutan masa lalu itu akan terus berulang selama masih ada Oknum yang menolak mendengarkan sudut pandang lain. Mengutip kalimat teman saya, “Untuk menjaga kewarasan harus selalu memperbarui pola pikir dengan pandangan yang baru.” Saran saya pada orang-orang yang masih terjebak ketakutan masa lalu, menganggap komunis setan yang menakutkan, mari berdiskusi[]

____ 
*kronologi pembubaran acara hari kebebasan pers internasional di AJI Yogyakarta di akun facebook Rahung Nasution

**http://tabloidjubi.com/2016/05/05/amnesty-minta-indonesia-akhiri-penangkapan-di-papua/

1 komentar: