Sabtu, 28 November 2015

Dangdut, Nasibmu Kini


“Dangdut is music of my country” begitu dalam lirik lagu projek pop.

Kemaren siang saya mendapat tantangan menulis dengan tema dangdut dari Sarip, Sadam dan Rosy.  Sebenarnya saya tak terlalu berminat untuk menerima tantangan mereka. Alasannya, ada beberapa tugas negara yang menuntuk segera dikerjakan. Namun, mendadak saya teringat blog yang saya buat beberapa tahun lalu. Sungguh saya merasa bersalah telah membiarkanya mangkrak.  Kemudian saya menyadari banyak tulisan iseng yang hilang bersamaan dengan rusaknya leptop beberapa bulan lalu. Duh, Tuhan maafkan hambamu yang telah aniaya.

Kembali lagi pada tantangan menulis musik dangdut.  Saya bukan orang yang paham dengan aliran musik, juga tak mengagumi musik tertentu. Jika enak didengar kuping yasudah dengarkan saja. Perkara di playlist telepon seluler saya berisi beberapa album dari satu grub musik tidak berarti saya tidak menyukai yang lain. He..

Sungguh, saya tak masalah dengan aliran musik. Telinga saya bisa mendengar alunan musik jazz yang katanya, musik kelas menengah atas. Telinga saya juga bisa mendengar musik dangdut yang lagi-lagi katanya merupakan musik masyarakat menengah kebawah. shit tentang kelas-kelas sosial itu.

Nah, yang menjadi masalah bagi saya adalah lirik lagunya. Meskipun namanya aliran pop alternatif jika liriknya bang Toyib yang tak pulang-pulang, musik dangdut yang isinya hamil duluan, sakitnya disini, alamat palsu hingga musik lokal yang liriknya pentol pentolan. Bagi saya yang begitu tak layak didengar (titik)

Adapula aliran musik alay kontemporer nan mendayu-dayu, seperti lagu-lagu Charly (jika salah eja nama maaf ye..) dengan bandnya es teh manis yang sekarang sudah ganti nama itu. Nama lain seperti d’Bagindas, Hijau daun dan sebagainya dan sebagainya. Hemb...

Tidak salah kan jika saya memilih diam di kamar, menggunakan headset menghadap leptop dibanding menonton D’ Academi dengan teman-teman kosan. Saya tidak asosial, hanya tak mau otak saya diracuni lirik-lirik tak mendidik. Ditambah pembawa acara dan komentator yang kayak lawak. Ampun, saya mual mendengarnya.

“nyapo to mbak, ramelu nonton tv? Enek mas Danang ki lho.” kata adik kos saya menggoda. Artinya “kenapa sih mbak, gak ikutan nonton TV? Ada mas Danang lho.” Saya hanya menjawabnya dengan senyuman  manis. Percuma saja saya menjelaskannya. Toh tanpa saya tonton Danang atau siapalah itu, dia akan tetap bernyanyi dangdut. Jadi tak ada pengaruhnya kan.

Diluar tema dangdut, sepertinya semua ajang pencarian bakat berubah jadi panggung lawak, lawak yang menjijikkan.  Ajang pencari bakat Stand up comedi yang tayang stasiun tivi mendadak ikut-ikutan tren. Stand up comedi, awalnya lawakan berkelas yang tak sekedar lucu mendadak jadi banyolan tak mutu. Hemm, cukuplah tentang acara-acara tv itu, mungkin bisa jadi tema tulisan berikutnya.

Pesan Ahok kepada para buruh yang melakukan demonstrasi beberapa waktu lalu, "Lagu dangdutnya yang enak ya!" Pesan saya kalau nulis lagu, dangdut atau apapun jenisnya, liriknya yang cerdas agar saya punya alasan untuk mendengarnya. Lirik kok pusing pala berbir, pala lu tu benerin.

Akhirulkalam, mohon maaf atas segala kesalahan. tulisan ini tidak bermaksud menyinggung Ef Pe Iy atau sejenisnya. Hidup musik Indonesia, hidup dangdut Indonesia.  Goyang Mang!!

4 komentar:

  1. lebih dingin nih tulisannya. sempat baca tulisan dg tema dangdut oleh temen2 ideas, kok rasanya agak panas bacanya. hehehe. go karya ideas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. oiya?
      yang lain nulisnya di depan kompor, makanya panas. wkwk..
      mas Roby juga boleh ikutan Writing callange lho.

      Hapus
  2. maaf baru komentar setelah nyaris setengah tahun... hahahaha
    lucu juga kalo dibilang begitu, saya sepakat soal lirik, tapi saya pengen dong, kalo tugas negara ( skripsi ) nya mbak nurul aini kelar, bahas lagi dengan mendetail soal kasta musik, ataupun riwayatnya... salam skripsweet... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha...
      Diusahakan mas. Sayangnya skripsweetnya sampai sekarang tak kunjung usai.

      Hapus